Pertanyaan Ke-025 :
Bagaimana cara penentuan awal Romadhon yang
benar ?
Jawaban :
Puasa
Ramadhan adalah salah satu kewajiban syar’i yang tegas dan merupakan salah satu
dari rukun Islam. Dasarnya adalah Al-Quran, Surat Al-Baqarah : 185 yang artinya :
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur. (Al-Baqoroh : 185)
Ketika memahami ayat di atas, ada perbedaan pendapat dalam
mengetahui awal bulan. Kata Syahida yang berarti menyaksikan dipahami oleh
sebagian ulama dengan menyaksikan dengan ru’yat, dan ada yang memahaminya
dengan hisab. Namun demikian, sesungguhnya untuk menentukan awal puasa Ramadhan
telah dijelaskan dalam hadits shahih Bukhari no. 1888, sebagai berikut :
حدّثنا آدمُ حدَّثَنا شُعبةُ حدَّثَنا محمدُ بنُ
زيادٍ قال: سمعتُ أبا هُريرةَ رضيَ اللّهُ عنهُ يقول: قال النبيُّ صلى الله عليه
وسلّم ـ أو قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلّم ـ «صُوموا لِرُؤْيتهِ
وأفطِروا لرُؤيته، فإن غُبِّيّ عليكم فأكملوا عِدَّةَ شَعبانَ ثلاثين».
Artinya :
“Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yat) hilal, dan berbukalah kalian karena
melihatnya, maka apabila terjadi mendung, maka sempurnakanlah hitungan bulan
Sya`ban itu sampai 30 hari.”
Hal ini berarti, walaupun secara hisab telah masuk awal bulan,
namun jika hilal tidak terlihat karena tertutup awan, maka genapkanlah hitungan
bulan Sya`ban sampai 30 hari. Dengan demikian, maka metode Ru’yat adalah memiliki
dasar yang kuat. Sementara metode hisab sesungguhnya adalah untuk membantu
metode Ru`yat.
Pertanyaan Ke-026 :
Bolehkah berpuasa menggunakan kalender hisabiyah
?
Jawaban :
Penentuan awal puasa harus ditentukan dengan Rukyatul Hilal
sebagai pegangan pokok sebagaimana telah diterangkan Pembahasan Bahsul Masail
Pertanyaan Ke-25. Bagi ahli hisab diperbolehkan mengamalkan hisabnya asalkan
memiliki perhitungan hisab yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya saja untuk
keperluan pribadi saja dan tidak diumumkan kepada orang ramai.
Hal ini dijelaskan dalam Kitab Kasyifatus Sajaa’ Bab Puasa:
لا
يجب الصوم ولا يجوز بقول المنجم وهو من يعتقد أن أول الشهر طلوع النجم الفلاني لكن
يجب عليه أن يعمل بحسابه، وكذلك من صدقه كالصلاة فإنه إذا اعتقد دخول وقت الصلاة
فإنه يعمل بذلك، ومثل المنجم الحاسب وهو من يعتمد أي يتكل ويتمسك بمنازل القمر في
تقدير سيره، ولا عبرة بقول من قال: أخبرني النبي صلى الله عليه وسلّم في النوم بأن
الليلة أول رمضان لفقد ضبط الرائي لا للشك في تحقق الرؤية إن تحقق الرؤية.
Hal yang
sama dijelaskan dalam Kitab Hasyiyah Bajuri Juz I Hal 286.
Pembahsan ini juga diterangkan dalam Kitab Hasyiyah Syarwani dan
‘Ibadi Juz III Hal. 373, sebagai
berikut:
وفي
فتاوى الشهاب الرملي سئل عن المرجح من جواز عمل الحاسب بحسابه في الصوم هل محله
إذا قطع بوجوده ورؤيته أم بوجوده وإن لم يجوز رؤيته فإن أئمتهم قدذكروا للهلال
ثلاث حالات حالة يقطع فيها بوجوده وبامتناع رؤيته وحالة يقطع فيها بوجوده ورؤيته
وحالة يقطع فيها بوجوده ويجوزون رؤيته فأجاب بأن عمل الحاسب شامل للحالات الثلاث
انتهى وهو محل تأمل بالنسبة للحالة الاولى بل والثالثة والعجب من الفاضل المحشي
حيث نقل هذا الافتاء وأقره اه
Pertanyaan Ke-027:
Bagaimana hukumnya setelah lewat satu Tahun
belum membayar qodho puasa ?
Jawaban :
Bagi
orang yang tidak puasa pada bulan Romadhon maka wajib baginya mengQodho Puasa
yang ditinggalkannya setelah bulan Romadhon. Jika sampai bulan Puasa berikutnya
belum diqodho maka ia wajib mengqodhonya setelah bulan puasa dan dikenakan
kafarat 1 mud untuk satu hari puasa. Kafarat (penebus) ini wajib diberikan
kepada fakir miskin.
Hal ini
dijelaskan dalam Kitab Asnal Matholib Juz I Hal. 429 :
تَجِبُ الْفِدْيَةُ بِتَأَخُّرٍ الْأَوْلَى
بِتَأْخِيرِ الْقَضَاءِ فَلَوْ أَخَّرَ قَضَاءَ رَمَضَانَ أو شيئا منه بِلَا
عُذْرٍ في تَأْخِيرِهِ إلَى قَابِلٍ فَعَلَيْهِ مع الْقَضَاءِ لِكُلِّ يَوْمٍ
مُدٌّ لِخَبَرِ أبي هُرَيْرَةَ من أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ فَأَفْطَرَ لِمَرَضٍ ثُمَّ
صَحَّ ولم يَقْضِهِ حتى أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ صَامَ الذي أَدْرَكَهُ ثُمَّ
يَقْضِي ما عليه ثُمَّ يُطْعِمُ عن كل يَوْمٍ مِسْكِينًا رَوَاهُ
الدَّارَقُطْنِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar