MBAH
MUQOYYIM :
PEJUANG
ISLAM DAN
PERINTIS
PESANTREN DI CIREBON
Maqbaroh
Mbah Muqoyyim di Desa Tuk Pesawahan Sindanglaut Cirebon banyak dikunjungi
peziarah. Hal ini karena jasa beliau yang sangat besar dalam memperjuangkan
Islam di Nusantara khususnya wilayah Cirebon. Beliau masih turunan Syarif
Hidayatulloh Sunan Gunung Jati dari Jalur Pangeran Pasarean. Beliau dilahirkan
pada saat kolonial Belanda mencengkram kuat kesultanan Cirebon.
Sejak
kecil beliau tidak mengenyam pendidikan formal. Dikatakan bahwa beliau mendapatkan
ilmu secara ladunni. Setelah beliau terkenal kealimannya, maka
diangkatlah menjadi Mufti di Kesultanan Cirebon. Beliau mengarang beberapa
kitab tentang fiqih, tashowuf, tauhid, dan lain-lain yang dikirimkan kepada
Sultan untuk dijadikan rujukan umat Islam di Cirebon.
Di
samping itu Mbah Muqoyyim terkenal dengan kesaktiannya atau ilmu kanuragan.
Pernah terjadi wabah tho'un (kolera) yang melanda Cirebon. Dengan izin Allah
beliau dapat mengatasinya.
Beliau
terkenal dengan budi pekertinya yg mulia. Ia tidak memandang siapa lawan
bicaranya, semuanya dianggap sama dan dihormati. Perilakunya sopan dan tutur
katanya halus. Istri beliau adalah putri dari Kyai Entol Rujitnala bin Pangeran
Luwung.
Ada
kisah menarik tentang pernikahan beliau. Al kisah daerah Setu dan sekitarnya sering
dilanda banjir. Disebabkan meluapnya Sungai Nanggela setiap musim hujan. Kyai
Entol selaku tokoh masyarakat berusaha membuat bendungan tapi selalu gagal dan
jebol. Akhirnya dibuatlah sayembara. Barangsiapa yang mampu membuat bendungan
setu akan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nyai Randulawang.
Mbah
Muqoyyim mendengarkan sayembara tersebut. Beliau tertarik mengikuti sayembara dengan
tujuan membantu korban banjir. Dengan kesantunannya beliau mengajak Kyai Entol
untk membantu, karena beliau tidak ingin mempermalukan kesaktian Kyai Entol di
hadapan masyarakat.
Beliau
mengeluarkan seutas tali dari kantong jubahnya. Dibentangkan sepanjang
bendungan. Kemudian bendungan itu dipatok yang antara patok satu dengan patok
lainnya dilingkari oleh benang. Dengan sekali hentakan dengan munajat kepada
Allah swt. Tiba-tiba terjadi peristiwa menakjubkan.
Benang
yang melingkar berubah menjadi bendungan koral yang kokoh dan tidak mudah
terpecahkan sehingga penduduk Setu pun terhindar dari bencana banjir.
Dinamailah bendungan itu dengan nama SETU PATOK (Sebelah timur kota Cirebon).
Beliau akhirnya dinikahkan dengan Nyai Randulawang.
Belanda
mulai mengintervensi urusan kesultanan, hal ini membuat Mbah Muqoyyim gerah dan
tidak betah di Keraton. Beliau mulai memberikan perlawanan. Beliau menyingkir
dan membuat Pesantren di Buntet Lama (sebelah utara Pesantren Buntet yang
sekarang). Belanda mengetahui keberadaan pesantren beliau. Dihancurkanlah
pesantren tersebut.
Beliau
berhasil menyelamatkan diri dengan bantuan Kyai Ardi Sela. Beliau dengan
keluarga dan santri-santrinya mengungsi ke daerah Tuk Pesawahan Sindanglaut.
Beliau dan rombongannya disambut oleh adik beliau yang bernama Kyai Isma'il. Di
sinilah beliau mulai mendirikan masjid.
Beliau
menyuruh santrinya "Jukuten bae jati ning kulon. Sa wit bae."
"Ambillah Jati di arah sebelah barat Satu Pohon (SA WIT) saja".
Daerah tersebut akhirnya dinamakan JATISAWIT. Artinya Jati Satu Pohon. Beliau
mendirikan tajug dan di sampingnya ada sumberan mata air (bahasa jawanya: TUK).
Daerah tersebut akhirnya dinamakan DESA TUK.
Sumber
mata air tersebut sampai sekarang masih terkenal di mata masyarakat karena
barokahnya (dengan izin Allah swt) berkhasiat dapat mengobati pasangan yg
terkena BENGKENG atau tidak harmonis. Sehingga sumber air tersebut terkenal
dengan sebutan MUARA BENGKENG.
Pesantren
yang didirikan oleh Mbah Muqoyim menjadi tempat penggembelengan ajaran Islam
sekaligus basis perlawanan terhadap Belanda. Di antara santrinya adalah
Pangeran Muhammad Khaerudin dari Kesultanan Cirebon yang menolak campur tangan
Belanda. Awalnya Sang Pangeran bersembunyi di Gua Sunyaragi terus bergabung dengan
Mbah Muqoyyim untuk memperjuangkan Islam. (Disadur dari berbagai Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar